Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang sulit diprediksi datangnya karena gempa bumi umumnya berkorelasi dengan aktivitas tektonik yang terjadi secara alamiah dimana pergerakan antar lempeng menyebabkan tumbukan atau gesekan yang dapat menimbulkan getaran yang dirasakan hingga ke permukaan. Di Indonesia, gempa bumi biasanya terjadi di sepanjang garis pertemuan ketiga lempeng yang memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera hingga ke Selatan Pulau Jawa dan menerus hingga ke bagian Barat Pulau Papua dan Sebagian wilayah Kepulauan Maluku dan Sulawesi.

Source: http://geomagz.geologi.esdm.go.id/

Seperti yang kita tau, gempa bumi menyebabkan banyak dampak yang bisa sangat besar sekali, seperti gedung-gedung roboh dan rusak, jalan raya retak, hilangnya nyawa hingga menciptakan tsunami. Pasca terjadi gempa akan menyebabkan kerugian yang sangat besar serta meninggalkan trauma yang sangat pilu karena banyaknya yang meninggal dunia akibat dari terkena runtuhan bangunan hingga terseret arus tsunami. Untuk itu banyak peneliti yang berusaha mencoba untuk bisa mendeteksi atau memprediksi adanya gejala gempa yang akan terjadi.

Dewasa ini, banyak digadang-gadang mengenai artificial intelligence dimana machine learning dan deep learning banyak digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dikehidupan sehari-hari, tak terkecuali untuk mendeteksi keberadaan gempa. Salah satu peneliti bernama Paul Johnson yang merupakan seorang geophysicist dari Los Alamos National Laboratory bersama dengan timnya baru-baru ini merilis sebuah artikel yang berjudul “A Silent Build-up in Seismic Energy Precedes Slow Slip Failure in the Cascadia Subduction Zone”. Johnson menggunakan data seismisitas yang terjadi pada zona subduksi di Cascadia untuk mendapatkan sebuah algoritma pencarian pola yang serupa. Kemudian digunakan teknik image recognition dan speech recognition yang ternyata dirasa efektif untuk memprediksi gempa buatan yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Johnson di laboratorium.

Pada artikel yang dirilis di website arxiv.org tersebut, Johnson dan tim memaparkan hasil dari penelitiannya bahwa mereka telah menguji algoritme mereka pada gempa slow slip di Pacific Northwest. Ketika Johnson dan rekan-rekannya merekam sinyal akustik yang dipancarkan selama siklus stick slip, mereka melihat puncak tajam tepat sebelum setiap slip. Peristiwa prekursor tersebut sama dengan yang diamati di laboratorium sebelumnya yang setara dengan gelombang seismik yang dihasilkan oleh foreshock sebelum gempa bumi. Tapi sama seperti ahli gempa yang telah berjuang untuk menerjemahkan foreshock menjadi ramalan kapan gempa utama akan terjadi, Johnson dan rekan-rekannya tidak dapat menemukan cara untuk mengubah adanya peristiwa foreshock tersebut menjadi prediksi gempa.

Artikel yang dirilisnya memanglah belum final dan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menerjemahkan. Namun, sepanjang penelitian yang telah dilakukan oleh banyak seismologist di dunia, banyak yang mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Johnson ini merupakan hasil yang paling mendekati dari tujuan untuk bisa memprediksi gempa. Untuk itu, kita sebagai geophysicist muda harus lebih aware terhadap kebutuhan penelitian baru dan juga memperhatikan adanya perkembangan teknologi untuk mempermudah mencapai tujuan-tujuan dari berbagai penelitian.

Referensi:

Berger, M. (2019, April). Could Machine Learning Be the Key to Earthquake Prediction? Retrieved from Smithsonian Magazine Website: https://www.smithsonianmag.com/science-nature/could-machine-learning-be-key-earthquake-prediction-180972015/

Hulbert, C., Rouet-Leduc, B., & Johnson, P. A. (2019, September). A Silent Build-up in Seismic Energy Precedes Slow Slip Failure in the Cascadia Subduction Zone. Retrieved from arXiv.org: https://arxiv.org/abs/1909.06787

Smart, A. (2019, September). Artificial Intelligence Takes On Earthquake Prediction. Retrieved from Quanta Magazine Website: https://www.quantamagazine.org/artificial-intelligence-takes-on-earthquake-prediction-20190919/